In The Room Where it Happens (A Hamilton Musical Phase)

Adara Kirana
7 min readJun 27, 2021

--

2015, terjadi suatu fenomena di Amerika Serikat. Sebuah musikal oleh Lin-Manuel Miranda tentang Alexander Hamilton, salah satu bapak pendiri AS, tiba-tiba diperbincangkan semua orang. Tiket untuk menonton pertunjukan Hamilton melejit tinggi. Para selebriti, politisi, tokoh-tokoh negara, tak mau kalah ikut menonton dan memberikan pujian mereka masing-masing untuk musikal tersebut. Michelle Obama menyebut Hamilton, “best piece of art in any form that I have ever seen in my life.”

2020, bisokop, teater, konser, dan berbagai bentuk sarana hiburan terpaksa ditutup untuk menekan angka penularan virus SARS-CoV-2. Layanan menonton via streaming pun semakin diminati untuk mengisi waktu banyak orang di rumah, salah satunya Disney+, di mana versi rekaman asli dari Hamilton akhirnya dirilis pada bulan Juli 2020. Lin-Manuel Miranda berkata bahwa rekaman tersebut diambil tahun 2016 pada beberapa kali pertunjukkan, beberapa di antaranya memang dikhususkan untuk mengambil gambar para pemain dari jarak dekat. Semua orang tentunya sangat bersemangat mendengar kabar ini. Dengan membayar layanan Disney+ yang jauh di bawah harga tiket pertunjukkannya di Broadway, akhirnya Hamilton bisa dinikmati oleh siapa saja.

Seperti yang saya sudah sempat singgung di atas, pertunjukkan Hamilton sendiri bercerita mengenai kehidupan Alexander Hamilton. Nomor musik pertama yang dibawakan pada pertunjukkan tersebut berjudul “Alexander Hamilton” yang intinya meringkas awal kehidupan Alexander — sejak lahir, ditingal ayahnya, tinggal bersama ibunya, ibunya meninggal, menulis mengenai badai yang melandanya, dianggap istimewa karena tulisannya, sampai orang-orang di Caribbean mengumpulkan uang agar Alexander bisa menempuh pendidikan di New York.

How does a bastard, orphan, son of a whore
And a Scotsman, dropped in the middle of a forgotten spot
In the Caribbean by providence impoverished
In squalor, grow up to be a hero and a scholar?

Setelah itu, lewat beberapa nomor musik berikutnya yaitu “Aaron Burr, Sir”, “My Shot”, “The Story of Tonight”, “The Schuyler Sisters”, “Farmer Refuted”, “You’ll Be Back” kita dikenalkan dengan situasi di New York pada saat itu yang penuh dengan perbincangan mengenai revolusi. Kita juga dikenalkan dengan berbagai karakter penting yang akan bermain peran besar dalam kehidupan Alexander Hamilton.

Kita mulai dapat melihat peran Alexander di revolusi pada saat itu dari nomor musik berikutnya “Right Hand Man” yang menceritakan bagaimana Alexander Hamilton direkrut menjadi tangan kanan George Washington.

Pada nomor musik berikutnya, “Helpless”, “Satisfied”, “The Story of Tonight — Reprise” kita mulai memasuki bumbu drama di musikal ini. Alexander bertemu dengan Eliza Schuyler dan menikahinya. Namun, ternyata kakak Eliza — Angelica Schuyler — juga menyimpan perasaan untuk Hamilton. Dari beberapa sumber yang saya baca, tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa kejadian ini benar terjadi, tetapi musikal ini memang tidak seratus persen akurat sesuai sejarah, dan drama musikal, jelas butuh drama. Lagi pula, sekuensi musik pada bagian ini benar-benar menarik dan “Satisfied” merupakan salah satu dari sekian banyak nomor musik terbaik di Hamilton.

Setelah itu, kita disuguhi nomor musik berjudul “Wait For It” yang dibawakan oleh karakter Aaron Burr. Di sini kita dibawa oleh Burr untuk melihat dunia dari sudut pandangnya. Bagaimana Hamilton mungkin menganggapnya lamban dan tidak akan pernah mengerti dengan cara berpikir Burr, tetapi Burr punya alasannya sendiri.

Death doesn’t discriminate
Between the sinners and the saints
It takes and it takes and it takes
And we keep living anyway
We rise and we fall and we break
And we make our mistakes
And if there’s a reason I’m still alive
When everyone who loves me has died
I’m willing to wait for it (Wait for it)
I’m willing to wait for it

Kemudian lewat “Stay Alive”, “Ten Duel Commandments”, “Meet Me Inside”, “That Would Be Enough”, “Guns and Ships”, “History Has Its Eyes on You” kita dibawa mengikuti berbagai lika-liku perjuangan revolusi yang dihadapi Hamilton. Mulai dari rasa frustrasinya terhadap Washington karena tidak diberi kepercayaan untuk memimpin pasukan sendiri, sampai menghadapi keinginan Eliza yang sedang hamil agar Hamilton tetap tinggal. Akhirnya, pada “Yorktown (The World Turned Upside Down)” kita sampai pada peperangan Yorktown yang kemudian mengarahkan mereka ke kebebasan yang mereka perjuangkan.

Pada “What Comes Next?”, “Dear Theodosia”, dan “Non-Stop” kita melihat harapan Hamilton dan rekan-rekannya mengenai bangsa yang akan mereka bentuk. Di “Non-Stop” kita melihat Hamilton bekerja tanpa henti dan kemudian diangkat menjadi Secretary of the Treasury pertama Amerika Serikat, yang juga menutup bagian I dari pertunjukan.

How do you write like you’re running out of time? (Running out of time?)
Write day and night like you’re running out of time? (Running out of time?)
Every day you fight, like you’re running out of time
Like you’re running out of time
Are you running out of time? Awwww!

How do you write like tomorrow won’t arrive?
How do you write like you need it to survive?
How do you write every second you’re alive?
Every second you’re alive? Every second you’re alive?

Bagian II dibuka oleh nomor musik “What’d I Miss” yang terutama memperkenalkan karakter Thomas Jefferson yang pada “Cabinet Battle #1” ditunjukkan memiliki keyakinan yang berkebalikan dengan Hamilton.

Pada “Take a Break” dan “Say No to This” kita kembali dibawa ke kehidupan personal Hamilton. Ia sedang bekerja keras mengusahakan rencana finansialnya disetujui oleh kongres sehingga menolak ajakan Eliza dan Angelica untuk berlibur, tetapi ia malah terlibat perselingkuhan dengan Maria Reynolds dan akhirnya ditagih sejumlah uang oleh suami Maria — James Reynold — sebagai uang tutup mulut.

Nomor musik berikutnya, “The Room Where it Happens” dibawakan oleh Aaron Burr, ia mengutarakan rasa frustrasinya mengenai berbagai persetujuan politik yang disetujui di balik pintu tertutup, dan betapa Burr ingin dilibatkan dalam pengambilan berbagai keputusan tersebut. Banyak yang berargumen bahwa sejak nomor inilah, Aaron Burr resmi menjadi antihero dalam pertunjukan.

We want our leaders to save the day
But we don’t get a say in what they trade away
We dream of a brand new start
But we dream in the dark for the most part
Dark as a tomb where it happens
I’ve got to be in the room (room where it happens)

Selanjutnya, kita dibawa melihat bagaimana Hamilton menjadi anak emas Washington lewat “Schuyler Defeated”, “Cabinet Battle #2”, Washington on Your Side”, sampai akhirnya Washington mundur di “One Last Time”.

Pemerintahan pun dilanjutkan oleh presiden John Adams yang diceritakan melalui nomor musik “I Know Him”, “The Adams Administration”, yang menunjukkan bagaimana Hamilton tidak disukai oleh presiden dan berbagai tokoh di pemerintahan. Lewat “We Know”, kita melihat Hamilton dituding terlibat spekulasi menggunakan uang negara ketika ditemukan bahwa ia mengirim uang yang tidak sedikit kepada seseorang bernama James Reynolds.

Untuk menyelamatkan nama agar karirnya tidak hancur, lewat “Hurricane” dan “The Reynolds Pamphlet” kita melihat Hamilton merilis pernyataannya sendiri mengenai perselingkuhannya dengan Maria Reynolds, untuk membuktikan bahwa uang yang ia gunakan adalah uangnya sendiri dan bukan untuk spekulasi, melainkan sebagai uang tutup mulut mengenai perselingkuhannya. Eliza kemudian membawakan nomor musik “Burn” yang mengutarakan kekecewaannya kepada Hamilton yang terlalu mementingkan pamor dan namanya.

You and your words, obsessed with your legacy
Your sentences border on senseless
And you are paranoid in every paragraph
How they perceive you

Seolah cobaan yang dihadapi Eliza Hamilton belum cukup, lewat “Blow Us All Away”,“Stay Alive — Reprise” dan “It’s Quiet Uptown” kita dibawa ikut bersedih melihat bagaimana Philip — anak pertama Eliza dan Alexander — harus tewas dalam duel demi membela nama Hamilton.

Selanjutnya di “The Election of 1800” dan “Your Obedient Servant” kita melihat perselisihan antara Alexander Hamilton dan Aaron Burr yang semakin memanas sampai akhirnya diputuskan mereka akan berduel. Nahasnya, lewat “Best of Wives and Best of Women” dan “The World Was Wide Enough” kita menonton bagaimana Hamilton akhirnya tewas ditembak oleh Burr.

Pertunjukkan kemudian ditutup dengan nomor musik terakhir yang berjudul “Who Lives, Who Dies, Who Tells Your Story” yang menceritakan bagaimana Eliza Hamilton akhirnya mengambil alih narasi dan melakukan hal-hal penting untuk memperjuangkan suaranya serta suara mendiang suaminya, salah satunya, Eliza menjadi pendiri panti asuhan swasta pertama di New York. Di nomor musik ini, kita dibawa bertanya, setelah kita tidak ada, siapa yang akan melanjutkan narasi kehidupan kita?

Let me tell you what I wish I’d known
When I was young and dreamed of glory
You have no control
Who lives, who dies, who tells your story?

Pertama kali menonton Hamilton, tentu saja saya terkesan akan penamilan para pemain yang sangat luar biasa — belakangan, saya ketahui mereka memainkan pertunjukan itu 8 kali dalam satu minggu selama satu tahun. Namun, saya belum terlalu memperhatikan dengan detail setiap nomor musik yang dibawakan. Setelah saya menonton untuk yang kedua kalinya diikuti dengan menonton puluhan video di Youtube tentang musikal ini, saya jadi tidak bisa berhenti mendengarkan semua nomor musik Hamilton di Spotify kapan pun saya bisa. Lewat komentar-komentar di Youtube, saya tahu bahwa bukan saya saja yang “terobsesi” mendengarkan soundtrack Hamilton tanpa henti — orang-orang sering menyebutnya “Hamilton Phase”.

Saya bukan orang yang sangat menggandrungi sejarah, politik, atau tertarik mempelajari mengenai negara lain. Saya juga bukan penggemar dari lagu beraliran hip-hop seperti sebagian besar nomor musik di Hamilton. Namun, saya suka sekali terhadap cara penyampaian cerita di pertunjukkan ini. Menurut saya, sangat luar biasa bisa mengemas cerita yang sangat kompleks, memasukkan cerita tersebut ke dalam lirik musik dan rap. Saya juga suka bagaimana permainan beberapa kalimat di musikal Hamilton yang diulang-ulang tanpa kita sadari. Selain itu, produksi panggung, koreografi, dan berbagai macam hal lainnya di musikal ini pun tak kalah bagus.

Tentunya, hal-hal yang saya tulis di tulisan ini hanyalah pendapat saya pribadi, seorang perempuan Indonesia yang tidak tinggal di Amerika dan tidak mengalami kejadian-kejadian di sana secara langsung. Para pemain Hamilton adalah PoC (People of Color) dan hanya sedikit pemain kulit putih yang terlibat. Biarpun begitu, mereka memainkan karakter orang-orang kulit putih, walaupun dibawakan dengan gaya dan berbagai referensi dari orang-orang kulit gelap. Hal ini menjadi perbincangan yang saya sempat ikuti tetapi tidak akan saya tulis di sini karena saya merasa tidak berkompeten untuk menulis hal-hal tersebut.

Namun, saya bisa mengatakan bahwa untuk orang Indonesia, Hamilton bisa saja menarik dan tidak. Ada teman saya yang juga menyukai Hamilton, tetapi ada juga yang menganggapnya tidak menarik, dan saya sepenuhnya mengerti. Untuk menonton 2 jam pertunjukkan yang hampir seluruhnya dinyanyikan dalam musik (sebagian besar rap) yang dipenuhi oleh referensi dan bercerita mengenai sejarah yang asing bagi kita tentunya tidak menarik bagi sebagian besar orang. Namun, jika kamu tertarik, selamat menonton, and welcome to the room where it happens!

p. s dan siapa tahu, kalian juga akan mengalami Hamilton Phase seperti saya :D.

--

--